Jumat, 16 November 2012

SARINAH; SEBUAH REFLEKSI PERGERAKAN PEREMPUAN INDONESIA


1.                        Pengantar

                        Sarinah adalah nama seorang pelayan perempuan dalam keluarga Bung Karno yang disebutnya sebagai orang yang memberi banyak pelajaran mencintai ‘orang kecil’. Sarinah mewakili kaum proletar perempuan hasil bentukan sosial dan budaya di tiap-tiap daerah di Indonesia. Sistem sosial dan budaya telah membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang tidak bebas, bahkan tidak tahu lagi apa yang merupakan pilihan dan cita-cita pribadinya. Yang telah dibentuk untuk hanya menempati ruang domestik dan dijadikan alat untuk melayani kebutuhan kaum superior yang menjadi kaum penguasa dalam rumah tangganya sendiri. Mereka menjadi kaum yang mengalami dekadensi moril dan inferioritas kompleks selama bertahun-tahun dan selalu menempati posisi subordinat. Mereka adalah kaum yang harus diperlakukan secara adil jika  kita menginginkan cita-cita Revolusi Bangsa Indonesia yang sebenarnya tercapai yakni terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi segenap bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah merdeka dari penjajahan. Revolusi bangsa untuk keluar dari penjajahan telah membuahkan hasilnya, dengan ditandai oleh proklamasi 17 Agustus 1945. Namun itu bukan merupakan tujuan akhir revolusi yang mau dicapai. Revolusi kita belum berakhir. Kemerdekaan dari penjajahan hanya merupakan sarana menuju cita-cita revolusi yang sebenarnya. Untuk itu perjuangan kita masih sangat panjang. Sebab, masyarakat, perempuan dan laki-laki harus disusun menjadi barisan yang siap memperjuangkan cita-cita revolusi bangsa untuk menyusun suatu negara yang berdaulat. Dan sebuah negara tidak bisa berjalan dengan baik tanpa dukungan penuh dan partisipasi aktif dari segenap lapisan masyarakat yang bergerak secara kolektif atas dasar kesadaran individu dan kelompok.

Gelombang kesadaran individu maupun kelompok, merupakan satu hal penting yang mendasari timbulnya suatu pergerakan. Kondisi masyarakat dalam pergolakan politik yang dihadapi bangsa serta kungkungan pandangan masyarakat yang dibentuk dalam budaya yang tidak menguntungkan bangsa, telah menggugah pemikiran Bung Karno untuk mengangkat persoalan urgensi yang dihadapi bangsa ini untuk disikapi segenap warga Indonesia, terutama bagi putra-putri Sang Fajar. Keprihatinannya terhadap kehidupan orang-orang kecil, terutama kaum perempuan yang tidak saja mengalami penjajahan di tingkat makro tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya di lingkungan domestik, yang telah membelenggu kebebasan individunya untuk dapat berperan sesuai pilihannya sendiri dan telah pula melumpuhkan sejumlah potensi esensial perempuan untuk ikut andil dalam memperjuangkan cita-cita revolusi bangsa.

2.                      Pengaruh Bentukan Budaya Patriarkat pada Eksistensi Sarinah

Budaya patrilineal pada dasarnya dimaksudkan untuk menegaskan garis keturunan dan ahli waris dalam keluarga dengan pertimbangan yang positif sesuai kebutuhan masyarakat di jaman terdahulu. Namun pada akhirnya berkembang dalam bentuk dominasi di segala aspek. Ekses patriarkat yang selama ratusan tahun berlangsung dengan kebiasaan menindas, telah memberi “kesan” kepada rohani dan jasmani yang menindas dan yang tertindas, sehingga lalu membentuk dua kelas sosial berdasarkan perbedaan seksis, yakni kelas superior (bagi kaum laki-laki) dan kelas inferior/ subordinat (bagi kaum perempuan).

Dominasi pembuatan kebijakan tanpa melibatkan perempuan lantas bermuara pada penyimpangan perilaku dan peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dengan mengutamakan kepentingan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Konteks budaya patrilineal yang diperkuat lagi oleh sistem feodalistik pada lingkungan kemasyarakatan telah membentuk budaya yang konservatif dan mengakar sehingga masih sangat sulit mengubahnya. Kesulitan untuk berubah tidak saja dialami kaum laki-laki tetapi banyak perempuan yang ikut terbentuk dalam sistem ini, yang turut melegitimasi posisi marginalnya melalui pandangan dan perilakunya.
Persoalan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan ini sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti di bidang sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, serta berdampak destruktif dalam proses pembangunan bangsa yang sedang berjalan. Berkembangnya sistem kapitalisme, neokolonisme, neofeodalisme telah membentuk hubungan yang bersifat subordinasi dalam masyarakat.  Hubungan ini bersifat hirarkis antara yang lemah dan yang kuat, sebagaimana antara yang miskin dan kaya, perempuan dan laki-laki, konsumen dan produsen, bawahan dan pimpinan, yang tidak berpendidikan dan yang berpendidikan dan sebagainya. Dalam hubungan ini, kelompok yang kedua selalu menguasai dan menempatkan posisi selaku pengambil kebijakan. Sifat wacana ini dalam wacana feminisme, disebut sifat maskulin karena terdapatnya ciri “menguasai kelompok lain”.
Menyoal tentang pembangunan di Indonesia, Nunuk Prasetyo, seorang aktivis perempuan dalam buku Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (1998;12) mengatakan; “Pemerintah Indonesia mempunyai ciri campuran dari neofeodal, kapitalistis dan militeristis yang dibangun atas dasar budaya patriarki. Jenis pemerintahan semacam ini berkecenderungan memaksakan kebijakan politik… Idiologi pembangunan yang bersifat maskulin telah menciptakan sistem perekonomian dan wacana kehidupan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat”.
Akibatnya, perempuan dijadikan alat untuk mengejar efisiensi dengan bayaran yang sangat rendah. Produk-produk hukum yang ada tidak mampu melindungi dan menempatkan perempuan sebagai manusia yang berhak sama dengan laki-laki. Kalaupun ada, dalam proses implementasinya terbentur oleh banyak kepentingan yang melanggengkan dominasi patriarkat terhadap perempuan.
Mengenai hal ini Bung Karno mengingatkan; setengah ahli tarich telah menetapkan bahwa kultur Yunani jatuh karena perempuan dihinakan dalam kultur itu dan Nazi-Jerman jatuh, oleh karena perempuan dianggap hanya baik buat Kirche-Kuche-Kleider-Kinder (Gereja, dapur, pakayan dan anak). Charles Fourrier mengatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat adalah ditetapkan dengan tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan dalam masyarakat itu. Dalam hal ini, tingkat kedudukan perempuan merupakan barometer yang digunakan untuk mengukur sejauh mana perkembangan suatu masyarakat. Dan ungkapan Baba O’Illah yang dikutip BK berbunyi; “laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung”. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah ia terbang sama sekali.

3. Pergerakan Kaum Perempuan

Secara alamiah, suatu bentuk penindasan akan disertai dengan bangkitnya kesadaran dan berkembangnya pergerakan yang akan melawan penindasan perlakuan yang dirasakan sangat tidak adil bagi kaumnya, pada akhirnya membuat perempuan mulai berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dan hak-haknya kembali. Pergerakan merupakan suatu ‘aksi’ atau ‘perlawanan tersusun’ yang dilandasi oleh suatu ‘gelombang kesadaran’. Pergerakan bukan hanya sekadar aksi tanpa makna, tetapi aksi yang dilandasi oleh suatu konsep yang matang, suatu idiologi tertentu. Dan konsep/idiologi, secara alamiah, sejalan dengan perkembangan jaman, selalu mengalami evolusi. Demikian pula dengan evolusi pergerakan perempuan yang berkembang dalam tingkatan-tingkatan kesadaran.

3.1. Tingkatan-tingkatan Pergerakan Perempuan

Sebelum membahas mengenai pergerakan Sarinah Indonesia, ada baiknya kita memahami pemikiran Bung Karno mengenai tiga tingkatan pergerakan perempuan berdasarkan tingkatan kesadaran dan asas pergerakan kaum perempuan dalam perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan selaku individu, anggota masyarakat dan warga negara.

Secara singkat BK merumuskan tingkatan pergerakan itu sebagai berikut;
-       Tingkat ke satu: Pergerakan menyempurnakan “keperempuanan”, yang lapangan usahanya ialah misalnya memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak dan sebagainya.
-       Tingkat kedua: Pergerakan feminisme yang ujudnya ialah memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting ialah hak untuk melakukan pekerjaan dan hak pemilihan. Tujuannya yang terakhir ialah: persamaan sama sekali antara kedua sekse itu, di atas lapangan hukum-hukum negara dan adat istiadat. Pergerakan feminis sering juga dinamakan gerakan emansipasi perempuan, dan aksinya bersifat menentang kepada kaum laki-laki. (Sebagai catatan, terdapat beberapa aliran feminisme yang tidak semuanya bersifat ‘menentang’ kaum laki-laki. Misalnya feminisme sosialis.)
-       Tingkat ketiga: Pergerakan Sosialisme, di mana perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang bahu-membahu untuk mendatangkan masyarakat sosialistis, di mana perempuan dan laki-laki sama-sama sejahtera dan merdeka.

3.2.                      Pergerakan Perempuan di Tingkat Internasional

Untuk memperjelas makna pergerakan yang membedakan ketiga tingkatan ini, maka ada baiknya kita melongok sejarah pergerakan kaum perempuan di dunia internasional. Atau yang lebih tepatnya di dunia Barat, di mana pergerakan perempuan berawal. Sebab dari dunia Baratlah mula-mula terdengar seruan: “Hai perempuan Asia, sadar dan melawanlah!”.

Pergerakan perempuan pada tingkat pertama (di Barat, terjadi pada masa sebelum revolusi Amerika dan Perancis) masih belum bisa dikatakan sebagai pergerakan yang sesungguhnya, karena kegiatan yang dilakukan kaum perempuan pada tingkat ini bukan merupakan suatu ‘aksi’ atau ‘perlawanan tersusun’ dan bukan juga merupakan suatu ‘gelombang kesadaran’. Tingkatan ini merupakan tingkatan perkumpulan kaum perempuan yang terdiri dari kaum perempuan atasan dan bertujuan memperhatikan urusan rumah tangga, sebagai ‘penyempurnaan’ perempuan sebagai ibu dan istri. Mereka tidak menuntut hak-haknya dan tidak menentang ekses-ekses dari sistem patrilineal. Kegiatan ini tidak berisi ideologi sosial dan politik sama sekali.

Pergerakan kaum perempuan yang sesungguhnya dimulai pada masa Revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke delapan belas, di mana kaum perempuan Barat menyusun barisan menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse (perempuan) dan sebagai warga negara perempuan.

Pergerakan menuntut persamaan hak, terutama untuk memasuki segala macam pekerjaan masyarakat inilah yang dinamakan pergerakan feminisme. Pergerakan ini sebetulnya juga merupakan pergerakan tingkat kedua yang dimulai oleh perempuan kelas menengah agar mereka boleh memasuki lapangan pekerjaan yang sama dengan laki-laki.

Pada tahun 1776 di Amerika, pada saat Amerika terlepas dari Inggris dan hendak menyusun Undang-Undang Dasar sendiri, kaum perempuan di bawah pimpinan Mercy Otis Waren dan kawan sepahamnya, Abigail Smith Adams (istri presiden Amerika yang kedua saat itu) menuntut supaya hak perempuan diakui pula, supaya perempuan dibolehkan memilih anggota parlemen, dibolehkan masuk semua jenis sekolah dan supaya undang-undang yang sedang disusun itu benar-benar satu UUD yang demokratis antara laki-laki dan perempuan. Tentang hak bersekolah ini, Abigail mengatakan; “Satu negara, yang mau menjelmakan pahlawan-pahlawan, ahli-ahli negara dan ahli-ahli falsafah, haruslah mempunyai ibu-ibu yang cerdas di tempat-tempat yang terkemuka.”

Menggempur suatu sistem yang konservatif dan benteng-benteng kekolotan merupakan usaha yang membutuhkan semangat dan energi yang luar biasa serta melalui proses panjang yang melelahkan. Namun aksi ini tetap mendapat sambutan dan sangat berpengaruh merubah ideologi kaum perempuan di Eropa, khususnya di Perancis dan Inggris sekalipun mendapatkan banyak penentangan dari kaum laki-laki di masa itu.

Pergerakan perempuan setelah kedua pengorganisir ide pergerakan perempuan di atas semakin nyata. Pada masa Revolusi Perancis, kaum perempuan di bawah pimpinan Madame Roland (pemimpin kaum perempuan atasan), Olympe de Gouges, Rose Lacombe, Theroigne Mericourt (pemimpin-pemimpin kaum perempuan bawahan) menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Merekalah pendiri-pendiri pertama organisasi-organisasi perempuan yang beranggotakan ribuan orang. Madame Rolland adalah pemimpin perempuan pada masa Revolusi. Dialah yang menaikkan pamor suaminya sehingga dua kali diangkat menjadi menteri. Dialah yang menulis akte-akte diplomatik yang penting dan hingga kini masih tersimpan dalam arsip negara. Dialah yang mengumpulkan banyak pemimpin laki-laki di salonnya, meyakinkan mereka dengan faham-faham baru yang sangat berpengaruh atas prosesnya ideologi revolusi.

Olympe de Gouges adalah organisator dan agitator perempuan pertama dalam sejarah pergerakan revolusioner. Ia selalu berada di tengah-tengah massa. Segera setelah diumumkannya “Keterangan Hak-hak Manusia” di Perancis, ia mengeluarkan satu manifes yang diberi nama “Keterangan Hak-haknya Perempuan”. Manifes Olympe benar-benar membakar semangat kaum perempuan. Olympe de Gouges telah difitnah sebagai perempuan lacur, perempuan yang patah hati, anti-revolusi, dan sebagainya. Perjuangan mereka yang revolusioner mendapatkan tekanan yang sangat keras dari pihak laki-laki yang menolak gerakan emansipasi ini. Namun siapakah yang dapat membantah bahwa ia seorang pejuang revolusi yang besar? Ia mengkritik penghapusan hak-kelebihan kaum bangsawan yang tidak disertai dengan penghapusan hak-kelebihan kaum laki-laki. Dan kritiknya pula dialamatkan kepada Robespierre yang terlalu mudah menjatuhkan hukuman mati kepada lawan-lawannya. Ia seorang Republikan yang anti-monarki dan anti cara pemerintahan yang absolut dan feodal. Dan perjuangannya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan kaum perempuan namun untuk kesejahteraan sosial seluruhnya, sebab ia sendiri pejuang kaum proletar. Namun ia akhirnya dituduh anti-Revolusi dan dengan tersenyum menjalani hukuman mati (guilotin) yang ditimpakan padanya oleh pemerintahan Robespierre.

Dan pengorbanan itu tidak sia-sia. Bahkan semakin banyak dukungan diberikan oleh baik kaum perempuan sendiri maupun oleh beberapa cendekiawan laki-laki seperti Markies de Condorcet di Perancis yang menggemparkan dunia intelektual dengan tulisannya yang menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dengan alasan jitu: Revolusi bersemboyan “egaliter”, tetapi semboyan ini didurhakai karena mengecualikan separuh bagian manusia dari pekerjaan membuat hukum yakni tidak mengakui persamaan hak laki-laki dan perempuan.

Mary Wollstonecraft di Inggris pada tahun 1792 mengejutkan kaum kolot di Inggris dengan menerbitkan bukunya yang berjudul “Vindication of the Rights of Women” (Pembelaan hak-hak kaum perempuan). Ada perbedaan antara tuntutannya dengan Condorcet, karena Mary mengemukakan syarat untuk diberi hak warga negara, yakni: ia meminta supaya kaum perempuan diberi pendidikan dulu. Sedangkan Condorcet menuntut supaya kaum perempuan segera diberi hak warga negara. Ia tidak menerima jika kebodohan dipakai sebagai alasan untuk tidak memberikan haknya tersebut sebab hal itu juga tidak dilakukan pada laki-laki.  Namun disamping itu ia mengeluarkan gagasan-gagasan penting lainnya untuk perempuan yakni tuntutan akan adanya ko-edukasi antara kedua sekse ini dan kemerdekaan ekonomis bagi perempuan.  Ia mengatakan bahwa keadaan ekonomilah yang menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan kaum perempuan yang seterusnya mengarah kepada pelacuran dan kejahatan. Kemerdekaan ekonomis dimaksudkan agar perempuan tidak bergantung secara ekonomis kepada laki-laki. Dikatakannya; “selama perempuan secara ekonomis masih tergantung pada laki-laki maka secara sosialpun ia akan tetap bergantung pada laki-laki”. Buah pemikirannya yang radikal ini selamanya merupakan buah pemikiran yang revolusioner.

Selanjutnya muncul pula pejuang perempuan lainnya yaitu Theodor Von Hippel yang menuntut persamaan hak atas nama kesejahteraan masyarakat dan negara; masyarakat dan negara akan aman dan sehat jika perempuan dibawa serta.

Condorcet, Wollstonecraft, Von Hipel adalah pengemuka ide tapi Olympe de Gouges yang memperjuangkan ide, mengorganisir ide dan mengaksikan ide. Nama keempatnya, di samping Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams serta Madame Rolland selamanya akan tetap dikenang. Perjuangan mereka berlangsung pada awal abad ke sembilan belas. Pada abad ke sembilan belas sendiri tidak ada ide-ide baru yang muncul. Yang ada hanya pengulangan ide-ide sebelumnya.

Meskipun demikian, pergerakan kaum feminis tetap berjalan. Di Inggris, mereka tak henti-hentinya melakukan aksi-aksi demonstrasi dan bahkan melakukan pemogokan-pemogokan sekalipun dalam penjara. Hal mana telah menggugah banyak kalangan. Terutama partai feminis yang bernama “Women’s social and political union”, yang dikenal sebagai partai Suffragettes-, yang sangat tajam ucapan dan tindakannya. Nama Emmeline Pankhrust dan tiga anak gadisnya; Christabel, Sylvia dan Adele Pankhrust serta Mrs. Fawcett dan Mrs Despard, tidak asing lagi bagi khalayak umum dan para hakim kriminal. Perjuangan mereka yang didukung kaum perempuan dari berbagai lapisan masyarakat tetap tidak mendapat sambutan, bahkan banyak dari mereka yang menjadi korban kebrutalan pihak keamanan.

Hingga pada pecahnya perang dunia 1914–1918, muncullah pengakuan akan pentingnya perempuan. Karena mereka yang dulu berseberangan dengan kaum laki-laki justru kemudian mau bersatu untuk membela negaranya. Bahkan kaum perempuan di dalam peperangan total merupakan satu tenaga vital yang tak dapat diabaikan. Jika tak ada mereka, produksi alat perang tidak akan mencukupi keperluan dan Britania akan patah tenaga di tengah-tengah pertempuran.

Akhirnya hak perwakilan pun diberikan pada perempuan. Setelah satu seperempat abad lamanya berjuang dengan gigih, hak pemilihan dapat diperoleh, sekalipun dengan adanya pembatasan yakni hak itu dapat digunakan setelah setidaknya berumur 30 tahun dan kekayaannya pun harus memenuhi satu syarat minimum. Sehingga hanya 6.000.000 perempuan Inggris yang dapat menjalankan hak memilih dan dipilih tersebut. 

Pergerakan perempuan di berbagai negara yang tumbuh secara sporadis kemudian menumbuhkan solidaritas perjuangan sehingga dirasa perlu membangun hubungan internasional. Maka di tahun 1888 didirikan sebuah “Dewan Perempuan Internasional” bertempat di Amerika, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya sehingga pada tahun 1893 telah bergabung dewan-dewan perempuan nasional dari 50 negara ke dalam Dewan internasional ini. Dewan ini lebih mengutamakan persaudaraan internasional dan kurang radikal.

Sebuah organisasi gabungan lainnya selain Dewan Perempuan Internasional, adalah “Serikat (aliansi) internasional buat hak-perwakilan perempuan dan persamaan hak warga negara” yang dibentuk dan mengadakan kongres pertamanya di Berlin pada tahun 1904. Utusan-utusan dari Amerika, Selandia Baru, Swedia, Norwegia, Denmark, Belanda, Jerman, Inggris, Austria dan Swiss datang menghadirinya. Kongres ini menerima sebuah keterangan asas bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama dan karenanya harus mendapatkan hak yang sama pula. Yakni hak untuk bekerja dan hak pemilihan. Sementara soal keadilan sosial tidak disinggung. Aliansi ini mendapat kritikan dari seorang perempuan sosialis Belanda, Ny. C. Pothuis-Smit yang mengatakan kongres ini berjiwa liberalis-borjuis.

Aliansi ini telah merasa amat puas dengan diberikannya hak pemilihan bagi perempuan di Norwegia pada tahun 1907, dengan tidak mempermasalahkan bahwa yang berhak memilih hanya perempuan dari golongan atas. Seorang perempuan Rusia, Golowine, yang mengatakan dalam pidatonya bahwa hak pemilihan umum hanyalah satu daripada alat untuk mencapai susunan masyarakat yang sosialistis, tidak mendapat sambutan dari anggota kongres lain. Sehingga nyatalah kesan borjuisnya aliansi ini. Sekalipun demikian ada hasil yang dicapainya juga. Pada kongresnya di tahun 1926, dari 43 negara anggotanya, terdapat 26 negara yang sudah memperoleh hak pemilihan bagi perempuan (yang terbatas).

Bagi kaum perempuan proletar, pergerakan feminis tidak saja belum memuaskan, tapi juga bisa menjadi lawan baginya dalam memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya. Mereka tidak saja menginginkan kemerdekaan politik tapi juga ekonomi dan sosial. Mereka merupakan orang-orang yang sudah sejak dulu mengerjakan pekerjaan yang paling banyak di dalam maupun di luar rumah sebagai pencari nafkah untuk keluarganya. Kaum perempuan bawahan merasa tuntutan kaum feminis belum menjawabi kebutuhan mereka sendiri. Clara Zetkin, pemimpin kaum perempuan kelas bawahan yang terkenal mengatakan; mereka itu secara yuridis dan politis merupakan satu bagian dalam masyarakat sekarang. Namun perempuan merupakan satu bagian yang lebih rendah lagi derajatnya dibanding kaum proletar laki-laki. Tapi tuntutan feminisme saja belum cukup. Yang perlu adalah bukan saja persamaan hak dengan laki-laki saja, tetapi perubahan susunan masyarakat. Pergerakan ini didukung pula oleh pejuang perempuan lainnya yaitu Henriette Rolland Holst. Tingkatan inilah yang dinamakan tingkat ketiga dari pergerakan perempuan, yakni; pergerakan perempuan yang di dalam aksi sosialis hendak mendatangkan satu Dunia Baru sama sekali, yang di dalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat bahagia, dengan tiada pemerasan satu kelas oleh kelas yang lain, tiada penindasan satu sekse oleh sekse yang lain (Sarinah, 1963:156).

Tingkat ini bukan khusus untuk perempuan saja, sebab untuk mewujudkan Dunia Baru itu, harus ada kerja sama antara perempuan dan laki-laki. Pergerakan sosialis merupakan tingkat tertinggi pergerakan Sarinah untuk mencapai masyarakat yang adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang di dalamnya ada penindasan kelas dan penindasan sekse. Dalam fase ini ada pertemuan antara ‘pekerjaan masyarakat’ dan ‘pekerjaan rumah tangga’. Dan, berbicara soal pergerakan kaum perempuan sosialis tidaklah terlepas dari pergerakan sosialis seluruhnya. Sebab, lama kelamaan proses industrialisme kapitalis telah menempatkan tidak saja perempuan tetapi juga laki-laki ke dalam perjuangan kelas proletar. Maka dengan kesadaran ini, pergerakan sosialis harus melibatkan seluruh komponen masyarakat, perempuan dan laki-laki, baik tua maupun muda untuk terlibat di dalamnya. Pergerakan perempuan di Barat mengalami kemajuan yang amat pesat karena perjuangan mereka mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan masyarakatnya.

3.3.                      Pergerakan Sarinah Indonesia

Pergerakan kaum perempuan Indonesia pada masa-masa sebelum kemerdekaan tidak banyak tercatat dalam sejarah perjuangan revolusioner. Perjuangan para pahlawan perempuan di jaman penjajahan seperti perlawanan melawan kolonialisme Belanda yang dipimpin Cut Nyak Dien ditujukan untuk mendapatkan kemerdekaan. Demikian pula oleh pahlawan-pahlawan perempuan lainnya seperti Kristina Martha Tiahahu, Cut Meutiah, Nyi Ageng Serang dan sebagainya. Perjuangan mereka memang diakui dan revolusiner, serta belandaskan semangat cinta tanah air.

Pergerakan perempuan selanjutnya digugah oleh tulisan-tulisan Kartini yang diekspos oleh sahabat Belandanya. Ia memang yang punya ide, namun tidak mampu untuk keluar dari kungkungan budaya yang mengikatnya saat itu. Dan aplikasi dari seruan Kartini hanya terbatas pada pergerakan perempuan tingkat pertama. Hal ini disebabkan karena Kartini sendiri berasal dari golongan atas yang lebih memperhatikan pendidikan sebagaimana perempuan atasan lainnya pada masa itu. Di kalangan atas, tercatat pula nama-nama lainnya seperti Dewi Sartika, Rahma El Junusi dan adiknya Zainudin El Junusi yang mendirikan sekolah perempuan. Sementara dari kalangan bawah, tidak tercatat satu namapun. Namun penelitian Ann Stoler mengemukakan bahwa perempuan di kalangan bawah “menguasai” berbagai aspek kehidupan (GAKTP 1998;17).

Pengaruh negara lain dalam pergerakan perempuan di tanah air cukup besar. Pada tahun 1908, Budi Utomo didirikan dan pendidikan perempuan ikut diperhatikan. Lalu bermunculan pula organisasi-organisasi perempuan seperti Putri Mardiko, Keutamaan Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado dan sebagainya. Bahkan dalam partai-partai politik di masa itu, banyak yang mengembangkan bidang perempuannya.  Sekalipun demikian, organisasi-organisasi perempuan tersebut masih membatasi diri untuk tidak bicara soal politik. Fokus mereka masih pada bidang pendidikan dan keluarga. Dan meski pergerakan perempuan terkesan lamban dan malu-malu (untuk tampil ke ruang publik), namun cukup memberi inspirasi bagi perempuan lainnya. Terbukti dengan munculnya organisasi perempuan di bidang media massa. Ibu Suwarsih Djojopoespito adalah seorang perempuan yang terkenal berani mengkritik tajam pemerintah Belanda.

Ketika pergerakan perempuan mulai mengarah ke bidang politik, Bung Karno adalah orang pertama yang menguatkan dan memberi inspirasi bagi kaum perempuan untuk melakukan pergerakan yang revolusioner. Ide-idenya tertuang dalam buku Sarinah yang terbit di tahun 1963. Ia menanamkan semangat revolusi pada kaum perempuan yang diarahkan pergerakan melawan penjajahan, penindasan dan ketidakadilan menuju kemerdekaan.

Secara umum, Cora Vreede–De Stuers, seorang penulis Belanda, mengklasifikasikan pergerakan perempuan Indonesia sebagai berikut;
1.    Periode pertama, masa penjajahan, tahun 1602––1928. Periode ini ditandai oleh gerakan perempuan yang sifatnya individual dan kurang terdokumentasikan.
2.    Periode kedua, masa perjuangan kemerdekaan, tahun 1928––1945. Merupakan perjuangan perempuan dan laki-laki dalam merebut kemerdekaan. Perempuan bertugas di bidang logistik dan kesehatan dan peranannya secara umum masih diwarnai stereotipe perempuan, sekalipun sudah ada yang mulai bergerak di dunia politik.
3.    Periode ketiga, periode demokratisasi (1946––1960). Ditandai dengan gerakan politik melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Salah satu organisasi perempuan yang dinilai revolusioner adalah GERWIS (Gerakan Wanita Sadar). Organisasi ini bergerak di kalangan marhaen, sehingga menarik perhatian banyak perempuan kalangan bawah. Pada tahun 1954 GERWIS berubah namanya menjadi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan politik. Wawasan pergerakannya mencakup persoalan-persoalan kemiskinan dan keadilan sosial. Pada masa krisis ekonomi dan politik di tahun 1960-an, organisasi ini sangat berperan aktif di masyarakat bawah untuk mengatasi krisis. Kegiatannya benar-benar mendidik masyarakat bawah untuk berpartisipasi memikirkan keadaan negara (GAKTP 1998;20).

GERWANI dituduh sebagai organisasi di bawah PKI pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Padahal, menurut penelitian Saskia Wieringa (1988) dari ISS Den Haag, pada saat GERWANI diminta untuk menjadi organisasi di bawah PKI, banyak anggotanya yang tidak setuju dan keputusannya baru akan dibuat melalui Kongres yang akan diadakan pada bulan Desember 1965. Namun dengan tuduhan dan pernyataan dari pemerintah Orde Baru bahwa GERWANI adalah organisasi perempuan komunis, maka matilah gerakan politik perempuan yang membela rakyat kecil. Sejumlah perempuan anggota GERWANI atau simpatisannya mengalami kekerasan, dirampas harta miliknya, dianiaya, diperkosa dan dibunuh dengan sadis. Mereka dianggap bukan manusia dan digambarkan sebagai perempuan haus darah dalam rekayasa melalui film dokumenter “Drama lubang Buaya” yang diputar setiap tahun pada masa Orde Baru.

      Perlakuan pemerintah ini menimbulkan trauma yang besar dan mematikan pergerakan perempuan selama masa Orde Baru. Dengan menggunakan mitos, simbol, jargon politik, kekerasan dan senjata, pemerintah Orde baru telah menanamkan hegemoninya kepada masyarakat Indonesia, termasuk perempuan. Semangat revolusioner kaum perempuan yang telah terbina di masa itu kemudian ‘dijinakkan’ dalam saluran lain yang dapat dikontrol pemerintah seperti organisasi PKK di kalangan bawah dan darma wanita untuk para istri pegawai negeri.

     Bibit revolusioner para pejuang perempuan terdahulu mulai nampak lagi di tahun 1980-an. Di masa ini kaum muda mulai kritis dan mempertanyakan kebenaran akan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya serta membuat analisis sejarah. Perkembangan teknologi dan pengetahuan serta kemudahan akses menuju informasi dan pembaharuan telah menumbuhkan semangat baru di kalangan kaum perempuan yang perlahan namun pasti mulai membangun jaringan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

     Pergerakan perempuan dewasa ini telah mendapatkan dukungan baik oleh sesama perempuan maupun laki-laki, yang bergerak dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kesadaran yang tumbuh mengarah pada kesadaran tingkat ketiga, di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menyadari bahwa persoalan perempuan merupakan persoalan nasional. Persoalan bangsa yang harus mendapat perhatian dan dukungan dari segenap anak bangsa. Benturan-benturan budaya dan sifat superioritas kaum laki-laki masih terasa namun wacana pergerakan perempuan telah terbuka dan diarahkan lebih fleksibel dengan pendekatan holistik untuk dapat masuk ke berbagai bidang kehidupan. Hal ini terbukti dengan banyaknya LSM yang bergerak di berbagai bidang dan diberbagai kalangan dengan tujuan menegakkan keadilan sosial dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.
    
Penutup

Wacana keadilan jender yang dikemukakan baik secara umum maupun yang tertuang dalam berbagai rencana aksi sudah dirintis dan dikembangkan di Indonesia, meski belum menyentuh semua perempuan dan laki-laki di tanah air ini. Perubahan yang signifikan dalam sikap dan perilaku yang diharapkan sesuai konsep keadilan jender dalam bangsa dengan kebudayaan yang cukup kuat tentunya diwarnai berbagai tantangan yang membutuhkan kajian dan berbagai pendekatan strategis untuk mengatasinya. Selain tantangan dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan sistem perundangan yang berlaku (masyarakat Indonesia juga masih kebingungan dalam menentukan arah yang tepat dalam penerapan otonomi daerah), kita juga masih bergulat dengan isu-isu global, termasuk kapitalisme industri, yang membuat pencitraan perempuan untuk menguntungkan kaum kapitalis, isu lingkungan, dan berbagai isu politis lainnya.

Pergerakan perempuan harus diisi dengan semangat revolusi bangsa untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Pergerakan perempuan bukan semata-mata bagi kepentingan perempuan namun lebih diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan perlakuan yang seimbang terhadap lelaki dan perempuan. Untuk itu maka pergerakan perempuan perlu diarahkan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan penindasan terhadap manusia lain, baik dalam lingkup publik maupun domestik. Dengan kesadaran bersama yang dibangun atas prinsip egaliter, maka akan terbentuk suatu kekuatan sosial yang utuh, kolektif dan tangguh dalam pembangunan bangsa. Semangat ini pantas dijadikan hal yang mendasari perjuangan kaum sarinah/marhaen Indonesia.

                 Perkenankanlah saya mengakhiri tulisan ini dengan menyampaikan dua motto sebagai bahan refleksi bersama sebagaimana yang selalu diingatkan Bung Karno dalam Sarinah;
-       “Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum perempuan kita” (Gandhi)
-       “Jikalau tidak dengan mereka (perempuan), maka kemenangan tak mungkin kita capai” (Lenin)
-       “Tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat adalah ditetapkan dengan tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan dalam masyarakat itu.” (Charles Fourrier)
-        

MERDEKA!!!

Maria D.M. Maghi
Alumni GMNI Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar