Selasa, 23 Oktober 2012

Dikotomi Gender dalam Budaya Suku Ngadha



Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional sebagai momentum bersejarah untuk merefleksikan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Keadilan gender memang masih terus diupayakan di penjuru dunia sebab ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki terjadi secara sistemik dan memunculkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan, termasuk kekerasan fisik, mental maupun seksual. Ketidakadilan gender juga hadir dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, di antaranya aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bagaimanakah relasi gender dalam konteks budaya suku Ngadha di Kabupaten Ngada ini?

Tinjauan budaya

Salah seorang pakar budaya Ngadha, Prof. Dr.  S. Djawanai, dalam artikel berjudul: “Tata Bahasa Teks Lisan Bahasa Ngadha” (Humaniora II, 1995, hal. 66) menyebutkan kekhasan dalam tradisi ini di mana pemimpin upacara adat  selalu perempuan pada penyapaan awal, seperti: “pine-ine, ema-pame, kae azi…” (yang artinya “bibi-ibu, bapak-paman, kakak-adik…” demikian pula dalam penyebutan istilah kekerabatan yang juga digunakan dalam penyapaan sehari-hari seperti: “ine-ema, veta-nara” (ibu-bapak, saudari-saudara). Dikatakan pula bahwa penyebutan ini merujuk pada keseharian yang artinya ini merupakan representasi praktik sosial dalam budaya Ngadha. Dengan kata lain, perempuan menempati posisi yang penting dalam kehidupan masyarakat tradisional.

Ulasan pada berbagai literatur maupun peliputan mengenai adat Ngadha juga memberikan penekanan pada peran perempuan dalam adat dan tradisi. Sistem kekerabatan pada suku Ngadha pada umumnya menganut paham matrilineal, meskipun keutuhan sistem ini masih menjadi perdebatan, sebab tidak semua anak suku menjalankan aturan yang sama. Akan tetapi, pada umumnya dalam budaya Ngadha, keturunan perempuan mempunyai hak untuk mewarisi tanah, rumah dan harta peninggalan masing-masing klan. Setelah menikah, seorang lelaki akan menjadi bagian dari keluarga istrinya, demikian pula anak-anak hasil pernikahan tersebut. Nama ibu juga dilekatkan pada nama anak-anaknya, sebagai penanda bahwa anak-anak merupakan bagian dari garis keluarga ibu. Dalam tradisi Ngadha, meskipun kaum laki-laki tidak berhak atas harta kepemilikan klan/keluarga, namun peran mereka dalam pengambilan keputusan sangat signifikan dalam keluarga asalnya. Oleh karenanya, peran kakek, paman dan saudara lelaki dari seorang perempuan sangatlah penting dalam keputusan-keputusan penting dalam keluarga, termasuk yang berkaitan dengan pernikahan, pengadaan ritual tertentu, pembagian warisan, pembagian peran untuk urusan keluarga atau adat dan sebagainya.

Rumah adat setiap klan disebut “Sa’o”. Sa’o terdiri atas sa’o saka puu dan sa’o saka lobo. Sa’o saka puu yang dipandang sebagai sumber atau asal utama sebuah suku, pula sebagai rumah dari perempuan tertua dalam klan harus lebih besar dari sa’o lainnya dan ditandai dengan penempatan miniatur bhaga (semacam rumah-rumahan kecil, sebagai simbol leluhur perempuan) pada atapnya. Puu berarti pokok, pucuk, atau sumber yang dalam konteks ini merujuk pada sumber kehidupan yakni dari tubuh perempuan. Sa’o saka lobo ditandai dengan simbol leluhur lelaki berupa ata atau ornamen patung kayu dengan memegang tombak dan parang – terkadang disertai gambar wajah seorang lelaki lengkap dengan kumisnya. Kedua sa’o tersebut biasanya diselingi dengan rumah-rumah yang lebih kecil yang dibangun oleh anggota klan lainnya. Sa’o saka puu disebut juga sebagai sa’o meze, idealnya terbagi dalam tiga bagian yakni one, sebagai bagian paling inti, bagian terdalam di sa’o dan tersakral di mana hanya perempuan boleh duduk di dalam ruangan yang dianggap sebagai simbolisasi rahim ini (Oktora, 2006). Di luar one terdapat teda one, yang dapat ditempati oleh kaum lelaki. Selanjutnya terdapat pula teda mo’a, atau bagian terluar dari sa’o, sebagai tempat bagi para tamu maupun anggota keluarga besar lainnya. Masing-masing ruangan ini dihubungkan dengan tangga dan papan kayu berukir yang disebut kawapere, sebagai pintu masuk menuju ruangan yang disakralkan dan bernuansa magis.

Strata sosial di Ngadha dibagi atas tiga jenjang yakni: strata tertinggi yang disebut ga’e meze atau kelompok bangsawan. Di jaman penjajahan, kelompok ini mewakili kaum ksatria dan pemegang kewenangan. Strata kedua disebut: gae kisa, dan strata ketiga disebut: zo’o atau ho’o, yang di jaman dahulu menjadi bagian dari kelompok yang diperbudak (sebagaimana diulas oleh Pater Paul Arndt SVD, 1961, hal. 164). Dalam sistem ini, perkawinan diharapkan berlangsung antara anggota masyarakat yang berstrata sama. Karena perempuan merupakan penerus garis keturunan ibu yang berfungsi sebagai tali pengikat keutuhan klan, maka penekanan lebih besar diberikan kepada perempuan untuk menikahi lelaki dari jenjang sosial yang sama (Schroter, 2005, hal. 376). Perempuan yang menikahi lelaki dari strata yang lebih rendah akan mendapat sanksi adat yang keras.

Ngadhu dan Bhaga

Para leluhur dari setiap klan atau sub-klan senantiasa ditandai dengan simbol pasangan leluhur lelaki dan perempuan melalui keberadaan ngadhu (simbol bagi leluhur laki-laki)  dan bhaga (simbol leluhur perempuan). Ngadhu berbentuk tiang kayu dengan pahatan yang mengukirnya. Alang-alang disusun membentuk payung menaungi simbol leluhur pada tiang ngadhu. Pada bagian ujungnya dihiasi dengan ornamen tangan yang memegang pedang dan tombak. Tepat di bawah atap, pada bagian atas tiang pahatan membentuk wajah manusia diikuti ukiran lain dengan simbol-simbol tertentu di bawahnya.
Bhaga merupakan pasangan dari ngadhu dan dinamakan sesuai dengan nama leluhur perempuan. Bhaga berbentuk rumah kecil yang hanya cukup untuk satu dua orang dewasa masuk dan duduk di dalamnya guna menjalankan ritual adat. Bentuk bhaga mengikuti bentuk one pada sa’o sebagai simbolisasi kekuatan roh leluhur perempuan sebagai asal-muasal klan dan sumber kehidupan.


Gambar  Bhaga dan Ngadhu  
 
Schroter menyebutkan bahwa bentuk ngadhu dan bhaga mengikuti pola Freudian, yakni ngadhu yang dapat diasosiasikan dengan phallus dan bhaga yang merupakan simbolisasi rahim perempuan. Namun, pada tradisi dan ritual adat, ngadhu dan bhaga tidak sekadar menjadi simbol leluhur, melainkan diyakini sebagai representasi dari para leluhur dengan kekuatan spiritual tersendiri sehingga pada upacara adat dilakukan kurban binatang seperti ayam, babi atau kerbau – bergantung pada jenis upacara adat dan kemampuan penyelenggaranya. Binatang tersebut dibunuh dan darahnya dioleskan pada tiang ngadhu. Nasi, daging, dan arak/moke diberikan sebagai sesajian bagi para leluhur sebagai ajakan bagi mereka untuk turut serta merayakan ritual yang dilaksanakan.

Pergeseran nilai

Dalam tradisi Ngadha, pembagian peran laki-laki dan perempuan ini dipandang sebagai pembagian peran adil, di mana peran perempuan dan laki-laki saling melengkapi satu sama lainnya dan bukannya saling menguasai satu sama lain. Meskipun kaum lelaki berwenang membuat keputusan, namun keputusan dibuat dengan mendengarkan pertimbangan dari kaum perempuannya. Namun seiring berjalannya waktu, pola relasi ini mulai mengalami pergeseran sebab sekalipun struktur matrilineal serta simbolisme adat mengagungkan perempuan, namun kewenangan, kepemimpinan, representasi di ruang publik dan akses terhadap pengetahuan (tentang adat, hukum, politik, teknologi dan sebagainya), dikuasai oleh kaum lelaki. Dengan kata lain, otoritas politik dan pengambilan keputusan didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga sering terlihat kaum laki-laki duduk bersama dan membahas persoalan politik sementara kaum perempuannya memasak dan menyajikan makanan. Pertimbangan kaum laki-laki juga lebih diakomodir dan mereka pula yang membuat keputusan akhir untuk disepakati dan dijalankan bersama.

Pergeseran peran dan posisi perempuan dalam tradisi masyarakat Ngadha ini tidak terlepas pula dari pengaruh program pembangunan pada masa Orde Baru, di mana pemerintah membatasi peran perempuan pada ranah domestik. Program pembangunan Orde Baru yang sangat bernuansa tradisi Jawa yang patrilineal, di mana pembagian peran laki-laki dan perempuan sangat jelas yakni: laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang domestik. Di awal masa Orde Baru, perempuan dilarang terlibat dalam organisasi politik setelah kriminalisasi terhadap Gerwani. Sebagai gantinya, pemerintah membentuk Dharma Wanita dan PKK untuk memperkuat peran domestik perempuan semata. Hal ini turut mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat Ngadha, sehingga di masa kini semakin sedikit jumlah perempuan yang ikut berperan dalam pengambilan keputusan di ranah publik/politik. 

Pencitraan tentang perempuan dan laki-laki yang ’ideal’ tidak saja muncul dalam bentuk program pemerintah, tetapi juga melalui kurikulum sekolah, lembaga sosial dan agama, juga melalui media massa.  Meskipun dalam tradisi perempuan mempunyai hak atas warisan, namun karena pengambilan keputusan ada di tangan laki-laki, maka akses perempuan terhadap sumber daya yang ada menjadi terbatas. Dalam konteks saat ini, perempuan mungkin saja tinggal di sa’o, tetapi tidak dilihat sebagai pemilik sa’o, tetapi sebagai penjaga sa’o. Demikian pula signifikansi bhaga sebagai simbol leluhur perempuan dan pendamping ngadhu telah mulai mengalami pergeseran nilai. Bahkan, pada sebagian sa’o meze, one tidak lagi dipisahkan pada ruangan tersendiri, tetapi disatukan pada teda one, direpresentasikan dengan tungku yang dijaga oleh perempuan, namun juga dapat digunakan oleh laki-laki. Oleh karenanya, isu gender merupakan wacana yang masih dipenuhi kontroversi dan inkonsistensi dalam masyarakat Ngadha. Sementara sebagian orang mengagung-agungkan bahwa posisi perempuan sangat tinggi dalam budaya Ngadha, pada kenyataannya hal ini tak sepenuhnya dapat dibenarkan. Kekerasan dan diskriminasi berbasis gender dalam masyarakat merupakan fakta yang tak terbantahkan akan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. 

Penutup

Keadilan gender adalah konsep yang mendasari tradisi asli suku Ngadha, sebagaimana disimpulkan oleh seorang peneliti berkebangsaan Jerman, Susanne Schroter (2005, hal. 340–341) yang mengatakan bahwa masyarakat Ngada menekankan pada prinsip: ‘berbeda namun setara’, di mana perbedaan gender itu tak mestinya dijadikan alasan untuk mendominasi kaum yang berbeda (the other half). Laki-laki bertanggung jawab memasak daging, perempuan bertanggung jawab memasak nasi; laki-laki berperan di lingkup luar sa’o, perempuan di lingkup dalam sa’o; pekerjaan tangan laki-laki berhubungan dengan kayu, perempuan dengan kain; laki-laki diasosiasikan dengan peperangan, perempuan dengan perdamaian. Secara simbolik, laki-laki adalah manu toro (ayam jantan merah), dan perempuan, moka mite (ayam betina hitam); leluhur perempuan berdiri di samping leluhur lelaki, dewi bumi Nitu disebutkan dalam doa bersamaan dengan doa kepada Dewa di nirwana. Dikotomi seperti ini sering ditemukan dalam tradisi budaya Ngadha. Semoga kita senantiasa diingatkan akan tradisi asli yang lebih menghargai keseimbangan yang harmonis dan memperlakukan kedua gender secara adil, sebagaimana adanya ngadhu, yang tak lengkap tanpa adanya bhaga beserta representasi budaya terkait yang menyertainya.