Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati
Hari Perempuan Internasional sebagai momentum bersejarah untuk merefleksikan
dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Keadilan gender memang masih terus
diupayakan di penjuru dunia sebab ketimpangan relasi antara perempuan dan
laki-laki terjadi secara sistemik dan memunculkan ketidakadilan dalam berbagai
bentuk diskriminasi dan kekerasan, termasuk kekerasan fisik, mental maupun
seksual. Ketidakadilan gender juga hadir dalam aspek-aspek kehidupan
bermasyarakat, di antaranya aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Bagaimanakah relasi gender dalam konteks budaya suku Ngadha di Kabupaten Ngada
ini?
Tinjauan budaya
Salah seorang pakar budaya Ngadha, Prof. Dr. S. Djawanai, dalam artikel berjudul: “Tata Bahasa Teks Lisan Bahasa Ngadha”
(Humaniora II, 1995, hal. 66) menyebutkan kekhasan dalam tradisi ini di mana pemimpin
upacara adat selalu perempuan pada
penyapaan awal, seperti: “pine-ine,
ema-pame, kae azi…” (yang artinya “bibi-ibu, bapak-paman, kakak-adik…”
demikian pula dalam penyebutan istilah kekerabatan yang juga digunakan dalam
penyapaan sehari-hari seperti: “ine-ema,
veta-nara” (ibu-bapak, saudari-saudara). Dikatakan pula bahwa penyebutan ini
merujuk pada keseharian yang artinya ini merupakan representasi praktik sosial
dalam budaya Ngadha. Dengan kata lain, perempuan menempati posisi yang penting
dalam kehidupan masyarakat tradisional.
Ulasan pada berbagai literatur maupun
peliputan mengenai adat Ngadha juga memberikan penekanan pada peran perempuan
dalam adat dan tradisi. Sistem kekerabatan pada suku Ngadha pada umumnya
menganut paham matrilineal, meskipun keutuhan sistem ini masih menjadi
perdebatan, sebab tidak semua anak suku menjalankan aturan yang sama. Akan
tetapi, pada umumnya dalam budaya Ngadha, keturunan perempuan mempunyai hak
untuk mewarisi tanah, rumah dan harta peninggalan masing-masing klan. Setelah
menikah, seorang lelaki akan menjadi bagian dari keluarga istrinya, demikian
pula anak-anak hasil pernikahan tersebut. Nama ibu juga dilekatkan pada nama
anak-anaknya, sebagai penanda bahwa anak-anak merupakan bagian dari garis
keluarga ibu. Dalam tradisi Ngadha, meskipun kaum laki-laki tidak berhak atas
harta kepemilikan klan/keluarga, namun peran mereka dalam pengambilan keputusan
sangat signifikan dalam keluarga asalnya. Oleh karenanya, peran kakek, paman
dan saudara lelaki dari seorang perempuan sangatlah penting dalam
keputusan-keputusan penting dalam keluarga, termasuk yang berkaitan dengan
pernikahan, pengadaan ritual tertentu, pembagian warisan, pembagian peran untuk
urusan keluarga atau adat dan sebagainya.
Rumah adat setiap klan disebut “Sa’o”. Sa’o terdiri atas sa’o saka
puu dan sa’o saka lobo. Sa’o saka puu yang dipandang sebagai
sumber atau asal utama sebuah suku, pula sebagai rumah dari perempuan tertua
dalam klan harus lebih besar dari sa’o
lainnya dan ditandai dengan penempatan miniatur bhaga (semacam rumah-rumahan kecil, sebagai simbol leluhur
perempuan) pada atapnya. Puu berarti
pokok, pucuk, atau sumber yang dalam konteks ini merujuk pada sumber kehidupan
yakni dari tubuh perempuan. Sa’o saka
lobo ditandai dengan simbol leluhur lelaki berupa ata atau ornamen patung kayu dengan memegang tombak dan parang –
terkadang disertai gambar wajah seorang lelaki lengkap dengan kumisnya. Kedua sa’o tersebut biasanya diselingi dengan rumah-rumah
yang lebih kecil yang dibangun oleh anggota klan lainnya. Sa’o saka puu disebut juga sebagai sa’o meze, idealnya terbagi dalam tiga bagian yakni one, sebagai bagian paling inti, bagian
terdalam di sa’o dan tersakral di
mana hanya perempuan boleh duduk di dalam ruangan yang dianggap sebagai simbolisasi
rahim ini (Oktora, 2006). Di luar one
terdapat teda one, yang dapat
ditempati oleh kaum lelaki. Selanjutnya terdapat pula teda mo’a, atau bagian terluar dari sa’o, sebagai tempat bagi para tamu maupun anggota keluarga besar
lainnya. Masing-masing ruangan ini dihubungkan dengan tangga dan papan kayu
berukir yang disebut kawapere,
sebagai pintu masuk menuju ruangan yang disakralkan dan bernuansa magis.
Strata sosial di Ngadha dibagi atas tiga
jenjang yakni: strata tertinggi yang disebut ga’e meze atau kelompok bangsawan. Di jaman penjajahan, kelompok
ini mewakili kaum ksatria dan pemegang kewenangan. Strata kedua disebut: gae kisa, dan strata ketiga disebut: zo’o atau ho’o, yang di jaman dahulu menjadi bagian dari kelompok yang
diperbudak (sebagaimana diulas oleh Pater Paul Arndt SVD, 1961, hal. 164).
Dalam sistem ini, perkawinan diharapkan berlangsung antara anggota masyarakat yang
berstrata sama. Karena perempuan merupakan penerus garis keturunan ibu yang
berfungsi sebagai tali pengikat keutuhan klan, maka penekanan lebih besar
diberikan kepada perempuan untuk menikahi lelaki dari jenjang sosial yang sama
(Schroter, 2005, hal. 376). Perempuan yang menikahi lelaki dari strata yang
lebih rendah akan mendapat sanksi adat yang keras.
Ngadhu dan Bhaga
Para leluhur dari setiap klan atau sub-klan
senantiasa ditandai dengan simbol pasangan leluhur lelaki dan perempuan melalui
keberadaan ngadhu (simbol bagi
leluhur laki-laki) dan bhaga (simbol leluhur perempuan). Ngadhu berbentuk tiang kayu dengan
pahatan yang mengukirnya. Alang-alang disusun membentuk payung menaungi simbol
leluhur pada tiang ngadhu. Pada
bagian ujungnya dihiasi dengan ornamen tangan yang memegang pedang dan tombak.
Tepat di bawah atap, pada bagian atas tiang pahatan membentuk wajah manusia
diikuti ukiran lain dengan simbol-simbol tertentu di bawahnya.
Bhaga merupakan pasangan dari ngadhu dan dinamakan sesuai dengan nama leluhur
perempuan. Bhaga berbentuk rumah
kecil yang hanya cukup untuk satu dua orang dewasa masuk dan duduk di dalamnya
guna menjalankan ritual adat. Bentuk bhaga
mengikuti bentuk one pada sa’o sebagai simbolisasi kekuatan roh
leluhur perempuan sebagai asal-muasal klan dan sumber kehidupan.
Gambar Bhaga dan Ngadhu
Schroter menyebutkan bahwa bentuk ngadhu dan bhaga mengikuti pola Freudian, yakni ngadhu yang dapat diasosiasikan dengan phallus dan bhaga yang
merupakan simbolisasi rahim perempuan. Namun, pada tradisi dan ritual adat, ngadhu dan bhaga tidak sekadar menjadi simbol leluhur, melainkan diyakini sebagai
representasi dari para leluhur dengan kekuatan spiritual tersendiri sehingga
pada upacara adat dilakukan kurban binatang seperti ayam, babi atau kerbau – bergantung
pada jenis upacara adat dan kemampuan penyelenggaranya. Binatang tersebut
dibunuh dan darahnya dioleskan pada tiang ngadhu.
Nasi, daging, dan arak/moke diberikan sebagai sesajian bagi para leluhur
sebagai ajakan bagi mereka untuk turut serta merayakan ritual yang dilaksanakan.
Pergeseran nilai
Dalam tradisi Ngadha, pembagian peran
laki-laki dan perempuan ini dipandang sebagai pembagian peran adil, di mana
peran perempuan dan laki-laki saling melengkapi satu sama lainnya dan bukannya
saling menguasai satu sama lain. Meskipun kaum lelaki berwenang membuat
keputusan, namun keputusan dibuat dengan mendengarkan pertimbangan dari kaum
perempuannya. Namun seiring berjalannya waktu, pola relasi ini mulai mengalami
pergeseran sebab sekalipun struktur matrilineal serta simbolisme adat
mengagungkan perempuan, namun kewenangan, kepemimpinan, representasi di ruang
publik dan akses terhadap pengetahuan (tentang adat, hukum, politik, teknologi
dan sebagainya), dikuasai oleh kaum lelaki. Dengan kata lain, otoritas politik
dan pengambilan keputusan didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga sering
terlihat kaum laki-laki duduk bersama dan membahas persoalan politik sementara
kaum perempuannya memasak dan menyajikan makanan. Pertimbangan kaum laki-laki
juga lebih diakomodir dan mereka pula yang membuat keputusan akhir untuk
disepakati dan dijalankan bersama.
Pergeseran peran dan posisi perempuan dalam
tradisi masyarakat Ngadha ini tidak terlepas pula dari pengaruh program
pembangunan pada masa Orde Baru, di mana pemerintah membatasi peran perempuan
pada ranah domestik. Program pembangunan Orde Baru yang sangat bernuansa
tradisi Jawa yang patrilineal, di mana pembagian peran laki-laki dan perempuan
sangat jelas yakni: laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang domestik.
Di awal masa Orde Baru, perempuan dilarang terlibat dalam organisasi politik
setelah kriminalisasi terhadap Gerwani. Sebagai gantinya, pemerintah membentuk
Dharma Wanita dan PKK untuk memperkuat peran domestik perempuan semata. Hal ini
turut mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat Ngadha, sehingga di masa kini
semakin sedikit jumlah perempuan yang ikut berperan dalam pengambilan keputusan
di ranah publik/politik.
Pencitraan tentang perempuan dan laki-laki
yang ’ideal’ tidak saja muncul dalam bentuk program pemerintah, tetapi juga
melalui kurikulum sekolah, lembaga sosial dan agama, juga melalui media massa. Meskipun dalam tradisi perempuan mempunyai
hak atas warisan, namun karena pengambilan keputusan ada di tangan laki-laki,
maka akses perempuan terhadap sumber daya yang ada menjadi terbatas. Dalam
konteks saat ini, perempuan mungkin saja tinggal di sa’o, tetapi tidak dilihat sebagai pemilik sa’o, tetapi sebagai penjaga sa’o.
Demikian pula signifikansi bhaga
sebagai simbol leluhur perempuan dan pendamping ngadhu telah mulai mengalami pergeseran nilai. Bahkan, pada
sebagian sa’o meze, one tidak lagi dipisahkan pada ruangan
tersendiri, tetapi disatukan pada teda
one, direpresentasikan dengan tungku yang dijaga oleh perempuan, namun juga
dapat digunakan oleh laki-laki. Oleh karenanya, isu gender merupakan wacana
yang masih dipenuhi kontroversi dan inkonsistensi dalam masyarakat Ngadha. Sementara
sebagian orang mengagung-agungkan bahwa posisi perempuan sangat tinggi dalam
budaya Ngadha, pada kenyataannya hal ini tak sepenuhnya dapat dibenarkan. Kekerasan
dan diskriminasi berbasis gender dalam masyarakat merupakan fakta yang tak
terbantahkan akan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Penutup
Keadilan gender adalah konsep yang mendasari
tradisi asli suku Ngadha, sebagaimana disimpulkan oleh seorang peneliti
berkebangsaan Jerman, Susanne Schroter (2005, hal. 340–341) yang mengatakan
bahwa masyarakat Ngada menekankan pada prinsip: ‘berbeda namun setara’, di mana
perbedaan gender itu tak mestinya dijadikan alasan untuk mendominasi kaum yang
berbeda (the other half). Laki-laki
bertanggung jawab memasak daging, perempuan bertanggung jawab memasak nasi;
laki-laki berperan di lingkup luar sa’o,
perempuan di lingkup dalam sa’o; pekerjaan
tangan laki-laki berhubungan dengan kayu, perempuan dengan kain; laki-laki
diasosiasikan dengan peperangan, perempuan dengan perdamaian. Secara simbolik,
laki-laki adalah manu toro (ayam
jantan merah), dan perempuan, moka mite
(ayam betina hitam); leluhur perempuan berdiri di samping leluhur lelaki, dewi
bumi Nitu disebutkan dalam doa bersamaan dengan doa kepada Dewa di nirwana. Dikotomi
seperti ini sering ditemukan dalam tradisi budaya Ngadha. Semoga kita
senantiasa diingatkan akan tradisi asli yang lebih menghargai keseimbangan yang
harmonis dan memperlakukan kedua gender secara adil, sebagaimana adanya ngadhu, yang tak lengkap tanpa adanya bhaga beserta representasi budaya terkait
yang menyertainya.